Rabu, 19 September 2018

Akuntabilitas Birokrasi Publik Kumorotomo

Salah satu dilema fundamental yang dihadapi oleh pemerintah Indonesia setelah terjadinya krisis ekonomi ialah turunnya doktrin masyarakat terhadap birokrasi publik dan sistem pemerintahan pada umumnya. Sesudah melihat bahwa birokrasi public selama ini spesialuntuk dijadikan sebagai alat politik bagi rejim yang berkuasa, rakyat sekarang susah menghargai apa yang dilakukan oleh pejabat pemerintah, birokrat, atau unsur-unsur lain yang terdapat dalam birokrasi public. Karena itu kiprah pokok para pembuat keputusan dalam beberapa tahun setelah gerakan reformasi ialah memperoleh kembali doktrin masyarakat seraya menerangkan bahwa seluruh proses politik dan pembuatan kebijakan yang terjadi akan memdiberi laba bagi rakyat. melaluiataubersamaini kata lain, akuntabilitas birokrasi publik akan menjadi titik krusial bagi arah perkembangan demokrasi di Indonesia.

Akuntabilitas (accountability) ialah ukuran yang menyampaikan apakah acara birokrasi publik atau pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah sudah sesuai dengan norma dan nilai-nilai yang dianut oleh rakyat dan apakah pelayanan publik tersebut bisa mengakomodasi kebutuhan rakyat yang sesungguhnya. melaluiataubersamaini demikian akuntabilitas terkait dengan falsafah bahwa forum eksketif pemerintah yang kiprah utamanya ialah melayani rakyat harus bertanggung tanggapan secara eksklusif maupun tidak eksklusif kepada rakyat. melaluiataubersamaini bahasa yang sederhana, Starling (1998:164) menyampaikan bahwa akuntabilitas ialah kesediaan untuk menjawaban pertanyaan publik.

“A good synonym for the term accountability is answerability. An organization must be answerable to someone or something outside itself. When things go wrong, someone must be held responsible. Unfortunately, a frequently heard charge is that government is faceless and that, consequently, affixing blame is difficult”.

Kesusahan untuk menuntut pertanggungjawabanan pemerintah terhadap kualitas pelayanan publik terutama disebabkan lantaran sosok pemerintah itu sendiri tidak tunggal. Untuk itu proses atau sistem akuntabilitas bagi forum pemerintah atau birokrasi publik yang memadai ialah prasyarat penting bagi peningkatan kualitas pelayanan publik.

Ferlie et al (1997:202-216) membedakan beberapa model akuntabilitas, yakni akuntabilitas ke atas (accountability up wards), akuntabilitas kepada staff (accountability to staff) akuntabilitas ke bawah (accountability downwards), akuntabilitas yang berbasis pasar (market-based forms of accountability) dan akuntabilitas kepada diri sendiri (self accountability). Dua model akuntabilitas pertama bersama-sama tidak banyak tidak sama dengan konsep-konsep wacana kontrol, pengawasan atau pengendalian di dalam birokrasi publik. Kemudian konsep accountability downwards terkait dengan konsep demokrasi partisipatif, bahwa acara politik dan pelayanan publik harus mempunyai kaitan yang erat proses konsultatif dan kerjasama antara wakil rakyat dan masyarakat pada tingkat lokal. Sedangkan konsep market-based forms of accountability mengutamakan adanya kompetisi dan prosedur pasar yang memungkinkan rakyat mempunyai pilihan lebih banyak terhadap kualitas pelayanan yang dikehendakinya. Pemerintah harus bisa memperluas alternative penyedia pelayanan publik serta menunjang warta atau menetapkan standar yang sanggup menjamin adanya akuntabilitas yang baik di dalam pelayanan publik. Kemudian juga terdapat konsep self-accountability yang intinya ialah proses akuntabilitas internal yang sangat tergantung kepada penghayatan terkena nilai-nilai moral atau budbahasa para pejabat birokrat yang melakukan kiprah pelayanan publik.

Berkenaan dengan upaya menjamin akuntabilitas di dalam birokrasi publik, Denhardt (1998:18) menyampaikan bahwa pada umumnya literatur terkena akuntabilitas di satu pihak sebut wacana pentingnya kualitas subjektif, berupa rasa tanggung tanggapan para pejabat publik dan di lain pihak banyak yang sebut pentingnya kontrol struktural untuk menjamin pertanggung jawabanan tersebut. Dari sini muncul banyak pakar dengan preskripsi wacana banyak sekali standar professional dalam organisasi publik, dan juga terdapat pakar yang berbagi kaidah-kaidah budbahasa standar pelaksanaan pekerjaan secara professional. Sebagian penulis melihat pentingnya keterlibatan legislative di dalam proses administrative, sedangkan penulis lain lebih banyak melihat pentingnya prosedur partisipasi publik di dalam proses administrative ibarat yang terwujud dalam opini publik serta kegiatan masyarakat lainnya.

Untuk membangun basis yang berpengaruh bagi demokrasi, partisipasi rakyat, keadilan dan pemerataan pembangunan dan sekaligus memperhatikan kebutuhan masyarakat lokal yang tidak sama-beda. Pemerintah kawasan sekarang menerima otonomi yang lebih luas dalam membiayai pembangunan kawasan menurut prioritas anggaran mereka sendiri. melaluiataubersamaini demikian, diperlukan bahwa akan lebih terbuka ruang bagi abdnegara di kawasan untuk merumuskan dan melakukan kebijakan-kebijakan pembangunan menurut kebutuhan yang senyatanya. Tetapi, mengingat bahwa intinya belum banyak terdapat perubahan di dalam latar belakang budaya, teladan berpikir dan teladan bertindak di antara para birokrat di kawasan sedangkan sumber daya insan yang ada di dalamnya masih relatif sama, maka pertanyaan terkena sistem pertanggungjawabanan atau akuntabilitas pada tingkat pemerintah kawasan masih tetap sama: Apakah implementasi dan ketentuan perundang-undangan yang gres itu akan bisa memperbaiki kualitas pelayanan publik di daerah?

Ada beberapa hal yang sanggup dikemukakan untuk menerangkan mengapa selama ini banyak kebijakan, acara dan pelayanan publik kurang responsif terhadap aspirasi masyarakat sehingga kurang menerima proteksi secara luas. Pertama, para birokrat kebanyakan masih berorientasi kepada kekuasaan dan bukannya kepentingan publik atau pelayanan publik secara umum. Sebagian besar pejabat tatau birokrat itu selama ini menempatkan dirinya dalam posisi sebagai penguasa (authorities) dan masih sangat terbatas pejabat yang menyadari peranannyasebagia penyedia layanan kepada masyarakat (public servant/service provider). Budaya paternalistic seringkali juga menjadikan turunnya kualitas pelayanan publik. Budaya semacam ini menjadikan kecenderungan untuk mempersembahkankeistimewaaan kepada para elit birokrat atau orang-orang yang mempunyai hubungan bersahabat dengan mereka.

Kedua, terdapat kesentidakboleh yang lebar antara apa yang diputuskan oleh pembuat kebijakan dan apa yang benar-benar dikehendaki oleh rakyat. Sistemadministrasi publik dan prosedur politik yang berlaku ternyata gagalmenjembatani kepentingan elit politik dan rakyat pada umumnya. Sesudah rejim orde gres turun, terdapat harapan yang berpengaruh dari banyak sekali elemen masyarakatuntuk memelihara netralitas birokrasi. Namun tanpa kontrol dan sistemakuntabilitas yang cukup kuat, senantiasa terdapat kemungkinan bahwa abdnegara birokrasi akan merumuskan dan melakukan kebijakan, melakukan acara pelayanan publik spesialuntuk menurut kepentingan sempit (vested interests) dari elit atau para penguasa.

Daftar Pustaka:
Kumorotomo, Wahyudi, 2008, Akuntabilitas Birokrasi Publik – Sketsa Pada Masa Transisi. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

0 komentar

Posting Komentar