Pengertian sistem pemerintahan di kala pembaharuan manajemen pemerintahan dalam adat pemerintahan ialah pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen pemerintahan yang dilakukan dengan menerapkan prinsip-prinsip good governance. Pembaruan manajemen pemerintahan tempat dalam adat pemerintahan ialah proses pengelolaan penyelenggaraan pemerintahan yang mencakup beberapa aspek perencanaan pemerintahan, pengorganisasian atau kelembagaan pemerintahan dan penerapan sumber-sumber daya dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan pada tataran pemerintahan daerah. Secara umum prinsip-prinsip good governance dalam sistem pemerintahan yang dikenal publik mencakup beberapa aspek desentralisasi, partisipasi, penegakan hukum, transparansi, responsivitas, oreintasi pada consensus, keadilan, efektivitas dan efisiensi, akuntabilitas dan visi strategis.
Menurut penulis perlu dimenambahkan satu lagi prinsip good governance semoga sesuai dengan kebudayaan masyarakat Indonesia yang agamis, yakni Prinsip Amanah. Mengapa prinsip ini perlu dimaksukkan menjadi salah satu elemen good governance untuk mewujudkan good goverment, alasannya ialah seluruh jabatan publik yang dijabat oleh pera pejabat publik itu bekerjsama ialah amanah publik yang harus diterima dengan kesadaran, komitmen dan integritas untuk mengaktualisasikannya secara konsisten dan konsekuen berdasarkan ukuran-ukuran moralitas sebagaimana layaknya pihak yang mendapatkan amanah. Aktualisasi jabatan publik secara konsisten dan konsekuen berdasarkan ukuran-ukuran moralitas inilah yang dimaksud sebagai pengejawantahan Prinsip Amanah. Jabatan publik apapun yang diterima oleh aparatur atau pejabat publik bekerjsama mengandung sederetan tuntutan dan sejumlah tantangan yang menghendaki semoga pejabat publik itu bersikap amanah sesuai amanah yang tertuang dalam sumpah jabatan serta ketentuan aturan yang mengatur fungsi jabatan tersebut. Apabila prinsip amanah ini sanggup diaktualisasikan secara utuh, konsisten dan konsekuen – apapun resikonya – maka prinsip-prinsip good governance lainnya menjadi tidak terlalu susah untuk diaktualisasikan. Mengapa demikian, alasannya ialah orang yang bersikap amanah ialah orang yang rendah hati, jujur dan bersikap melayani kepada siapa saja yang bersentuhan dengan pelaksanaan fungsi jabatannya.
Dalam konteks ini, desentralisasi sanggup diartikan sebagai suatu proses pendelegasian wewenang atasan kepada bawahan untuk meningkatkan kinerja jabatan atau mencapai tujuan pelaksanaan fungsi jabatan. Karena itu pelaksanaan fungsi jabatan itu bekerjsama tidak bergantung spesialuntuk pada satu orang saja yang menguasai jabatan, namun bergantung pada strauktur jabatan yang membentuk sekian banyak orang untuk secara gotong royong menjalin kerjasama dan kebersamaan yang saling mendukung dan memperlancar.
Partisipasi, sanggup diartikan bahwa potensi dan keterlibatan secara aktif setiap individu yang terstruktur dalam fungsi jabatan semoga sanggup mempersembahkan kontribusinya secara efektif dalam pelaksanaan fungsi jabatan tersebut. Dalam konteks yang lebih luas, partisipasi itu juga sanggup diartikan sebagai potensi dan keterlibatan para pemangku kepentingan (stakeholder) yang terkait dengan pelaksanaan fungsi jabatan tersebut. Karena itu, salah satu tantangan yang dihadapi para pejabat publik ialah bagaimana menyebarkan sistem partisipasi yang kontruktif bagi pelaksanaan fungsi jabatan yang berdayaguna dan berhasilguna.
Penegakkan hukum, sanggup diartikan sebagai suatu upaya mewujudkan kinerja dan pelaksanaan fungsi jabatan semoga selalu didasarkan pada aturan aturan dan ketentuan administratif yang berlaku dengan selalu memperhatikan pentingnya ketertiban dan disiplin dalam pelaksanaan tugas. Karena itu, setiap pejabat tidak spesialuntuk dituntut untuk memahami problem aturan tetapi sekaligus juga dituntut untuk tidak melanggar atau mengabaikan ketentuan hukum, meskipun ketentuan aturan itu sanggup diubah oleh otoritas jabatannya.
Transparansi, sanggup diartikan sebagai suatu keterbukaan sikap yang jujur dan demokratis dalam mengimplementasikan kebijakan publik dan penerapan sumberdaya manajemen publik untuk mencapai tujuan pelaksanaan fungsi jabatan.Transparansi juga sanggup diartikan terbangunnya suatu sistem komunikasi sosial yang efektif dengan banyak sekali pihak yang terkait dan atau berkepentingan dengan pelaksanaan fungsi jabatan.
Responsivitas, sanggup diartikan sebagai suatu manifestasi kepekaan dan daya tanggap terhadap segala permasalahan dan tuntutan yang menjadi konsekuensi dan atau resiko penerimaan dan pelaksanaan fungsi jabatan.
Oreintasi pada consensus, sanggup diartikan sebagai kepatuhan pada janji dan norma-norma yang mendasari penerimaan jabatan.
Keadilan, sanggup diartikan sebagai suatu ungkapan sikap kepemimpinan pejabat publik yang bijaksana dan kepedulian sosial yang memandang penting kedudukan setiap pihak yang terkait dengan pelaksanaan fungsi jabatan.Untuk itu setiap pejabat publik hendaknya sanggup menghindari kepentingan subyektif dan desakan ego sektoral.
Efektivitas dan efisiensi, sanggup diartikan sebagai proses pencapaian tujuan pelaksanaan fungsi jabatan secara optimal, dan penerapan sumber daya jabatan secara terbaik. Untuk itu, setiap pejabat publik perlu memahami ukuran-ukuran pencapaian tujuan dan samasukan pelaksanaan fungsi jabatan.
Akuntabilitas, sanggup diartikan sebagai suatu pertanggungjawabanan atas pelaksanaan fngsi jabatan, baik secara moral, aturan dan administratif. Dalam konteks ini, seorang pejabat publik perlu mempunyai landasan moral, adat dan norma yang jelas.
Visi strategis, sanggup diartikan bahwa seorang pejabat publik perlu menyebarkan visi dan gaya kepemimpinannya yang selaras dengan dinamika perubahan lingkungan strategis organisasi, dan menguasai juga strategi-startegi pendekatan yang sempurna untuk mengatasi setiap permasalahan yang menuntut optimalisasi pelaksanaan fungsi jabatan. Untuk itu, setiap pejabat publik perlu menyebarkan wawasan dan kompetensinya semoga bisa berperan dalam proses transformasi nlai-nilai yang terkait dengan fungsi jabatannya.
Sistem pemerintahan dalam UU No. 32 Tahun 2004 tidak lagi memakai istilah kewenangan tapi urusan pemerintahan. Berbeda dengan UU No. 22 Tahun 1999 yang tidak secara spesifik memilih urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, UU No. 32 Tahun 2004 memilih bahwa urusan pemerintah yang menjadi kewenangan provinsi secara terang sama dengan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota. Hal yang membedakan spesialuntuk lingkupnya saja dilihat dari kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi.
Pada dasarnya sistem pemerintahan dalam konsep Otonomi yang digunakan oleh UU No. 32 Tahun 2004 hampir sama dengan UU No. 22 Tahun 1999 yaitu mengatur bahwa tempat yang menganut asas deserius dan desentralisasi ialah provinsi. Adapun tempat kabupaten dan kota spesialuntuk menganut asas desentralisasi. Konsekuensi strukturalnya, tempat provinsi menjadi wilayah manajemen sekaligus tempat otonom sedangkan tempat kabupaten dan kota menjadi tempat otonom penuh.
Pembahasan terkena desentralisasi dan otonomi tempat dalam sistem pemerintahan dilandasi perkiraan bahwa hubungan antara orang yang memerintah dan orang yang diperintah, sama halnya dengan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah tempat ialah ialah kasus klasik dalam ilmu politik. Sistem pemerinatahn dalam paradigma usang yang memandang masih kuatnya hubungan sub-ordinasi antara pemerintah dan rakyat, nampaknya sudah mulai luntur yang dalam paradigma gres cendurung menghendaki hubungan yang setara antara pemerintah dan rakyat. Peranan pemerintah tidak lagi membawahi dan memerintah, melainkan lebih mengarahkan dan memfasilitasi apa yang menjadi kebutuhan rakyat. Persoalan utamanya bersumber pada seberapa pemerintah tempat bergerak atau diberinitiatif dalam lingkungan kekuasaan negara, dan seberapa besar pula masyarakat tempat sanggup menghipnotis kebijakan negara dan atau pemerintahan tempat yang pada giliranya kebijakan itu akan berujung kepada pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Atas dasar inilah konsep desentralisasi dan otonomi sanggup dipandang, baik sebagai fenomena politik maupun manajemen negara.
Salah satu argumentasi sistem pemerinatahan dalam pelaksanaan otonomi tempat ialah mendekatkan pemerintah dalam bentuk Pemda kepada masyarakat, semoga pemerintah tempat memahami keinginan, aspirasi dan kebutuhan masyarakat. melaluiataubersamaini demikian tingkat kesejahteraan masyarakat akan sangat tergantung kepada tingkat pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah daerah. Paradigma otonomi tempat berdasarkan semangat UU No. 32 Tahun 2004 ialah otonomi masyarakat, dalam arti Pemda sebagai perwujudan dari otonomi masyarakat dituntut untuk lebih bisa mensejahterakan masyarakat melalui pelayanan publik dibanding dengan pemerintah pusat yang jaraknya lebih jauh kepada masyarakat.
Salah satu kebijakan politik yang menjadi sumber kelemahan sistem pemerintahan dan mendorong terjadinya krisis multidimensi yang mengancam keutuhan negara bangsa ialah diterapkannya sistem pemerintahan negara yang terlalu sentralistik dengan mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi, kiprah serta masyarakat, baik eksklusif maupun melalui kontrol perwakilan rakyat, serta pemerataan dan keadilan, yang pada gilirannya kebhinekaan dalam segala bidang kehidupan yang menjadi sumber potensi dan keguakaragaman daerah, terabaikan pula. Kebijakan politik tersebut, tidak spesialuntuk berdampak terbelenggunya aspirasi, oto-aktivitas dan kreativitas masyarakat setempat, melainkan juga mematikan sumber potensi dan sumber daya di daerah, terutama sumberdaya manusianya, yang pada gilirannya pula pelayanan publik dalam upaya mensejahterakan masyarakat tidak terselenggara dengan optimal sesuai dengan prinsip penyelenggaraan pemerintahan.
Sistem pemerintahan NKRI tidak menganut paham ”sentralisme” dalam kekuasaan, melainkan mengakui dan menganut prinsip ”desentralisasi” dalam pemerintahan. Sesuai dengan amanat UUD, dalam rangka menjalankan prinsip desentralisasi di wilayah NKRI dibuat daerah-daerah Provinsi, dan di wilayah provinsi dibuat daerah-daerah kabupaten/kota sebagai tempat otonom.
Dalam menjalankan penyelenggaraan sistem pemerintahan, tidak sepenuhnya dilaksanakan secara desentralistik, tetapi ada beberapa potongan yang tetap dilaksanakan secara sentral, alasannya ialah pertimbangan pencapaian tujuan, dayaguna dan hasilguna, serta alasannya ialah sifat dan coraknya yang tidak bisa lain harus diselenggarakan secara sentral. Pertimbangannya didasarkan kepada kriteria eksternalitas, akuntabilitas, efisiensi dan keserasian hubungan pengelolaan urusan pemerintahan, menyerupai dianut di dalam UU No. 32 Tahun 2004 ihwal Pemerintahan Daerah sebagai pengganti UU No. 22 Tahun 1999. Dalam koridor Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 yang sering terabaikan dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam kaitannya dengan pelayanan publik ialah prinsip penyelenggaraan pemerintahan dari aspek kepatutan pemerintahanan, alasannya ialah aspek ini seringkali dipengaruhi oleh sikap dari para penyelenggara negara.
Walaupun UU No. 32 Tahun 2004 mencantumkan asas-asas kepatutan dengan merujuk kepada UU No. 28 Tahun 1999, tetapi tidak secara imperatif mengkaitkannya dengan asas-asas penyelenggaraan pemerintahan sebagai suatu sistem. Bahkan suatu kekeliruan yang cukup fundamental dalam UU No. 32 Tahun 2004 tersebut yang membedakan antara asas penyelenggaraan sistem pemerintahan di pusat dengan asas penyelenggaraan sistem pemerintahan pada pemerintahan daerah, yang menekankan bahwa dalam menyelenggarakan pemerintahan, pemerintah memakai asas-asas desentralisasi, kiprah pemmenolongan, dan deserius, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, sedangkan penyelenggaraan pemerintahan daerah, pemerintahan tempat memakai asas otonomi dan kiprah pemmenolongan sebagai asas penyelenggaraan pemerintahan di daerah, padahal otonomi dan kiprah pemmenolongan ialah hak dan wewenang yang didiberikan oleh pemerintah pusat yang ialah manifestasi atau perwujudan dianutnya asas desentralisasi dalam sistem pemerintahan di Indonesia.
Betapapun baiknya penyelenggaraan sistem pemerintahan yang dianut oleh suatu negara bangsa, jikalau tidak dibarengi dengan penegakkan ”asas-asas kepatutan pemerintahan” yang dilakukan oleh para penyelenggara negara, maka kepentingan masyarakat dalam bentuk pelayanan publik untuk mensejahterakan masyarakat, tetap akan susah untuk sanggup diwujudkan.
Salah satu argumen sistem pemerintahan dalam pelaksanaan otonomi tempat ialah bahwa perangkat pemerintahan tempat dengan kewenangan-kewenangan otonominya harus bisa menyediakan pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan otonomi tempat berdasarkan semangat UU No. 32 Tahun 2004 yang menganut prinsip otonomi nyata dan bertanggungjawaban mengisyaratkan bahwa Pemerintahan Daerah dalam memilih isi otonomi sesuai dengan kewenangan yang didiberikan oleh Pemerintah Pusat, bagaimanapun juga harus dikaitkan dengan kebutuhan riil masyarakat di daerah, dengan perkataan lain seberapapun luasnya otonomi tempat yang didiberikan, haruslah bisa memanifestasikan pelayanan publik
Selain dari pada itu, pergantian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang tujuannya antara lain untuk mengembalikan dan mewujudkan keseimbangan antara hubungan kekuasaan pusat dan tempat dalam sistempemerintahan, kembali terjebak kepada nuansa re-sentralisasi dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Hubungan Eksekutif dengan Legislatif Daerahdalam sistem pemerintahan intinya ingin menyebarkan taktik gres yang lebih dinamis, dimana hampir 30% pasal - pasal dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 (pasal 56 s/d pasal 119) mengatur ihwal Pemilihan Kepala Daerah secara langsung.
Kenyataan di lapangan mengatakan banyak kericuhan terjadi dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah, terjadi konflik horizontal dimana - mana, terutama setelah salah satu “calon terpilih” ditetapkan menang dalam Pilkada tersebut. Namun tidak jarang pula terjadi konflik vertikal, ketika salah satu calon yang diajukan oleh Parpol ditolak oleh KPUD, belum lagi terjadinya money politic yang berlebih-lebihan, uang terhamburkan dimana-mana spesialuntuk untuk memenangkan jabatan Kepala Daerah, daripada diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat, ada orang yang gulung tikar setelah tidak terpilih menjadi Kepala Daerah, sebaliknya orang yang terpilih sebagai Kepala Daerah, menjadi kebingungan bagaimana mengembalikan uang biaya Pilkada yang jumlahnya milyaran rupiah itu.
Dari beberapa pengalaman yang sudah terjadi tersebut mengatakan terdapat sejumlah kelemahan dalam Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang berdampak kerancuan dalam implementasi Pilkada, menyerupai penunjukan KPUD sebagai Pelaksana Pemilihan Kepala Daerah secara Langsung (PILKADA) ialah kurang tepat, alasannya ialah kiprah dan kewenangan KPU (KPUD) ialah melaksanakan Pemilu, dan bukan melaksanakan Pilkada. Dalam Pasal 57 UU No.32/2004 menyatakan bahwa Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah diselenggarakan oleh KPUD yang bertanggung balasan kepada DPRD, namun Pasal tsb dalam judicial - review dicabut oleh Mahkamah Konstitusi. sehingga, dalam menyelenggarakan Pilkada, KPUD tidak terang bertanggung-jawaban kepada siapa. Penyelenggaraan Pilkada ialah kompetensi Pemerintah cq. Pemerintahan Daerah, dan karenanya perlu dibuat Panitia/ Komisi Pemilihan Kepala Daerah yang unsur-unsurnya terdiri dari tokoh masyarakat, sekolah tinggi tinggi, pers dll yang bertanggung balasan kepada Pemerintah cq. Pemerintahan Daerah. Sosialisasi dan diseminasi peraturan perundang - permintaan ihwal Pilkada sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Peraturan Pelaksanaannya, kurang sekali disosialisasikan kepada masyarakat luas, sehingga masyarakat kurang memahami aturan main, semangat dan jiwa, serta konsekuensi-konsekuensi yang bakal terjadi pada Pilkada, sehingga dalam pelaksanaannya mengakibatkan multi interpretasi dan persepsi yang tidak sama-beda.
Pemilihan Kepala Daerah secara eksklusif sudah membebani negara. Dari sudut pandang ekonomi, Sistem Pemilihan Kepala Daerah tidak eksklusif yang dipilih oleh wakil-wakil rakyat sebagai pilihan rakyat lebih efisien. Sistem Pemilihan Kepala Daerah dikala ini berkampanye dengan pesta masal di lapangan atau di jalanan yang sangat boros dan tidak efektif. Selain itu, Sistem Pemilihan Kepala Daerah tingkat Provinsi dan Kabupaten serta pemerintahan Kota dikala ini sering terjadinya konflik horizontal antar pendukung dan tindakan-tindakan anarkis dari pendukung. Disamping itu, banyak sikap masyarakat pemilih menjadi anarchist, merusak gedung-gedung dan masukana pemerintahan, alasannya ialah ketidakpuasan terhadap hasil Pilkada dan banyak lagi persoalan-persoalan yang mencerminkan seakan-akan pemerintah sudah tidak bisa lagi mencari bagaimana cari untuk menyelesaikannya, bahkan memdiberika kesan tidak ada satu tubuh publik berbertanggungjawaban untuk menuntaskan persoalan-persoalan tersebut sehingga berdampak kepada instabilitas dalam sistem pemerintahan dan ketidaktentraman masyarakat.
Terlebih lagi, Pemilihan Kepala Daerah dalam sistem pemerintahan dikala ini kurang mengedepankan pendidikan politik dan selalu berpotensi mengakibatkan pratek money politics oleh calon-calon yang berkompetisi hampir di seluruh lini penyelenggaraan Pilkada, baik di kalangan masyarakat, KPUD, para calon Kepala Daerah, termasuk Tim Suksesnya serta kurang optimalnya Panitia Pengawas Pilkada. Oleh alasannya ialah itu, sudah saatnya pelaksanaan pemilu Gubernur, dan Bupati/Walikota merubah tatacara kampanye yang lebih mendidik dengan melaksanakan obrolan dan debat visi misi di DPRD disertai memanfaatkan media isu komunikasi yang lebih efektif, efisien, mendidik dan murah.
Sumber: diolah dari banyak sekali jurnal dan tumpuan artikel sistem pemerintahan.
0 komentar
Posting Komentar